Archive for 01/10/10 - 01/11/10

Mengubur duka


.

Sesegera mungkin kuhadiahkan senyum dalam kertas melamin merah dan kubalut lembut dengan pita putih, baru saja terpikir tadi, jangan sampai alpa mengganggu kita. Esok kan kulahirkan suka dari janin pikiran. Duka kan kusemayamkan esok di pemakaman pesimis dan kucor dengan adukan pasir semen agar membeton d...an liat lalu mematokkan nisan agar terkenang

Medan, oktober 2010

Kala rintik pagi di Medan


.

Berkomposer riang lalu terjal dimakan badai. Dentingdenting riaknya berkejaran perkusi diatap seng memadukannya hingga memantik luka menyayat fajar, mengeten dari celah kelabunya awan. Pagi ini anugerah. Silsilah lelembutnya mengantukkan ubunubun kembali menghanyutkan mata di sungai mimpi. Kela...karkelakar tak menjulang, bahkan terhimpit di temaram. Seketika hening, Medan menggelayut padahal resepsi bertaburan dijantungnya. Sesak masih mengidap. Tak ingin terdiaknosa sedih, padahal ini anugerah. Terimalah Medan diguyur rintik pagi. 

Medan, oktober 2010

Dilema Cerita


.

Rasanya, petak kepala karena malunya, dindingdinding kusam berbisik mencela, lantailantai tak ketinggalan, tertawa sinis berpola simetris, lalu tempias datang berjingkrak sambil menenteng segitiga, seperti musiman. terus sembunyi dibawah kerucut dan menghempas badan di kasur persegipanjang hasil dari pohon randu. Menimpa bantal, meraih guling; padahal bendabenda itu jenuh pada tuannya. Dan esok, masih harus menantang surya, belulang nyeri bukan takut. Sesak juga merepet pada kulit karena tak serius membalut daging. Itupun aku masih malu. Adakah lusa kita bercerita lagi?

Medan, Oktober 2010

Minder


.

Sekarang, aku menghirup semerbak perih dan terdiagnosa minder, obatnya mungkin tentram. Diam terpekur dipenghujung malam. Cepatlah jangan sampai aku mati perasaan.

Medan, Oktober 2010

Gugatan


.

Meledak dahsyat, berserakan, lalu mengecil jadi puingpuing dijalanan bukan jalinan. Terinjak dan penyet kayak lemet lalu disantap binatangbinatang rakus disudut sana. Kemarin malam, tak seperti ini. Buntu ditekan malam lalu basah dijatuhin uap alam, tertatih lewati perasaan dengan gundah yang menginang pundak; Terasa berat. Bagaimana dengan kita, asyik dengan hiburan. Bui tentram terkunci rapat. Suar tlah redup dimakan konslet hubungan. Bukan aku jenuh, tapi masa depan kita tak terkonsep, aku sembunyi dibalik jam dinding. 
 
Medan, Oktober 2010

Senyuman pagi


.

Berdentum, merapatkan bibir hingga melubangi pipi, bangun dengan cerah dari surya jadi sarapan pagi. Menyambet wajah dengan air lalu membusanya lalu terusap. Menyeduh hitam mengaduk butir, teguk, lalu batuk. Masih berdentum, merapatkan bibir hingga melubangi pipi. Juga cerah mempetakan jalan hari agar sesat tak kunjungi. Merapikan jaring, menjerat masalah, menikam gundah dan tersenyum. 

Medan, Oktober 2010

Bandang


.

Sumringah, duduk dan menghayal sejenak. Tersedu sedan ketika dilihatnya belantara berubah jadi kota, banjir air mata, mandi peluh, berenang lumpur seketika batang menggulung badan, tembok dan anakanak batangnya. Mengais apasaja yang menyenggol, muatkan ke muara penampungan sana. Jeritanjeritan pun ditegurnya agar diam dengan linangan. Kemudian beku, seakanakan ini bukan garapan; ini bandang.

Medan, Oktober 2010

Maghrib di Atap Seng


.

Sesekali tersentak, bergumam "ini dosa". Tangga masih menunggu ku injak, padahal kakiku masih beku. Sampai diteriaki adzan maghrib, aku masih sibuk bersemedi bulan diatap seng atas toilet dan semburan water canyon dari gayung menghentikan lamunanku.

Medan, Oktober 2010

Coretan Indah II: Selembar Kertas Suci


.

aku minta dan mohon pada waktu
untuk mengembalikan hidupku lampau
tapi dia masih saja hanya tersenyum
tak terusik dan tak sedih

kubiarkan pula petir itu berteriak di telingaku
seperti menembakkan peluru sakit dan perih
hanya ada selembar kertas yang suci
untuk kurakit dan kuukir hati ini

semenjak dan saat ini
kuingin serangkai nada menyanyikan untukku
lagu rangkaian angin angin malam
dan bulan akan bersuara merdu menggema

bagaimana lagi aku, dan bagaimana pula aku
tak terjerat dalam kebencian waktu
seperti aku melayang dalam kelamnya rasa
tak terhingga oleh kegagalan

Faisal fariz :
Sepertinya sedang bermediasi dengan keadaan nih?
Indah Prayodya :
ungkapan keadaan yang melewati mediasi waktu.
Faisal Fariz :
Lalu, terpekur dengan suramnya. Tak berniat mensiasatinya kemudian merengkuh ilham dari jeritanjeritan keadaan.
Indah Prayodya :
cuma berdiam saja terpaku,terpejam mata tak ingin melihat keadaan suram itu.namun telingaku tatkala mengusik dan mendengrkn degungan perih itu.
Faisal Fariz :
Lalu naif dengan kebahagiaan yg direngkuh akan datang. Dan temaramkan duka nestapa lalu, mungkinkan belajar itu terus riang bersandar di esok lewat mawar yang terangkai dalam pot hidrofonik di loteng perasaan.
Indah Prayodya :
semoga saja..harapan tu tak pernah tenggelam dalam waktu.
kulontarkan dan kubuang selalu bersama keadaan ini.
mgkn tangkai mawar ataupun kelopaknya,.
meski tak seharum dirinya,.tapi aq masih mampu menjaganya.
Faisal Fariz :
Soleklah harumnya, senantiasa luluh dengan cendramata penyair jalanan beruparupa coretan untuk "indah yang rupawan." Lukislah perspektif malam dengan kuas warnamu, bukan warnanya dia (penghujam perasaan).
Dan ria kelak menyandingmu hingga selesai mendikte dunia.
Indah Prayodya :
sampai waktu berdetak semakin pelan,.penyair jalanan itu terus saja menyoret nyoret kerak bumi,.semakin dan sampai kelak nanti.
lukisan itupun selayaknya berwarna indah.elok dipajang mata.
pendiktean itupun pasti menyambutku bahagia,
Faisal Fariz :
Dan terkaman alpa akan diri-Nya kian gerogoti lukisan dan coretan indah. Munajatkan syukur ketika suka duka berlalu. Selalu percikkan rupamu dengan air kidung, sujudlah malam dengan dahimu, sisihkan koinkoin pada bakul diseberbng sana, dan indah akan tetap indah.

Medan, Oktober 2010



Ketika itu sampai sekarang


.

aku menemukanmu ketika secuil potongan bolu terlempar hanyut dilelehan lilinlilin saat perayaan ntah apa waktu itu. sesegera mungkin aku menjabatmu lalu berdialog kala itu. hingga terukir namamu dalam bait doa yang terbaikan. ketika itu juga, aku bergurau karena aku emang penggurau kehidupan. tapi, bukan penggurau perasaan seperti orang bilang.

saat itu juga, aku belajar mengukir namamu dalam paru hingga aku tersesak dan rapuh saat namamu mengaung. aku juga mengejarmu waktu kau meninggalkan landasan pacu lalu terbang menghilang dalam kabin.
terseok hingga akal menghilang seiring sayap terbang. sesaat setelah
itu, aku tak menemukan suaramu dibalik layar putih dan sayup selularku.

muncul, lalu mengembang dengan sesaat merangkul rangkulanmu. bingar lalu
gusar. angan bergandeng asa memupuk rasa lalu tumbuh dengan buah
perasaan yang akan segera dipanen.

Medan, Oktober 2010

Tetap kecil karena ceomohan


.

aku pun binasa saat semua mudah mengendalikan hujan, aku tetap terhujani amarah, terseok gundah lalu mengakhirinya dengan payung dan berjalan. menyeret percikan ceomohan, mengurangi beban di senja, menyentuh malam lalu pulas, bangun dan meneriaki keadaan dengan asahan gelisah. berlabuh di dermaga batu dan tetap terhujani kelakarkelakar malu.

Medan, Oktober 2010

Komentar untukmu


.

Terusik gigitan penghuni malam
meneriaki amandemen perasaan
lalu terbuang oleh puting beliung. 
Berikan enkordion pada ritme nada keadilan.
Serak kontropersi keadaan dari parau bulan, 
agar kau tetap indah disunting peradaban fajar

Aku


.

sabarlah, aku ingin berlayar di lautan riangku, mendayung sampan perasaan, menebar jaring pikiran, memancing masalah agar aku kenyang pengalaman, menaut jangkar biar berenti ditengah badai kehidupan lalu menerjalnya sampai tertutup mata, terseok dan terdampar di pulau para pemenang tender masalah. Dan itulah "AKU"

Medan, Oktober 2010

Bisa marah


.

Lalu senyum, melihat congkak bolong digerogoti genggaman. Tetap sumringah, rasakan gulana kala matahari memanggang gosong siang.
Tetap melaju, saat kendala menbendung makna.
Dan akan marah, ketika aku disebut "penderma rasa".

Medan, Oktober 2010

Orasi kopi


.

Berdiri, mengeja teks dengan nada garang, menggenggam keadaan, mendialogkan panas dan mengunyah ludah, sesekali tersedak. Tetap berdiri, masih mengeja teks dengan nada garang, bergumam pada malam, mengaduk prasangka dan mengintip senyuman, kadangkala melotot.Sekarang duduk, dan tidak lagi mengeja teks tapi menyeduh sang pekat hitam. Nadanada gelas menggerutu karena panas; bebanpun lepas.

Medan, Oktober 2010

mungkin selesai


.

Kini kau hadir disanding terik, setelah semalaman aku mengusir taman langit agar kau nyaman dan tak tersandung. Juga tlah ku lepas semua kerut dahi.Dan dia, masih duduk menunggu taktik beroperasi, sampai layar kosong.Aku imla semua periode kita dari dulu sampai catatan hidupmu dimakan rayap. Julangkan kepercayaan dalam... tapal batas, mungkin selesai tlah wajar.

...

Dalang bosan, mematahkan wayangwayangnya dan panggung ditanggep sebulan lalu rubuh diterjang balingbaling kipas terbang bak kapas, hinggap balapan rangrang tak beradu. Porakporanda kurehabilitasi dengan diam tanpa balabantuan.
"kita akan selesai"

Medan, Oktober 2010

Coretan Indah


.

Berawal dari ini :
"Kuberikan semua beban ini pada hujan yang akan datang sebentar lagi.
Berharap hujan memberikan anugerah pelangi setelah itu.amien"
Faisal Fariz : 
hempaskan hujan pada waduk-waduk agar kita berjenaka lalu tertawa menonton parodi hidup dipanggung bumi ; berjudul "masalah".
 Indah Prayodya :
baiklah, sekuat petir dan misteri hujan dihari ini. aku tak mmpu ikut dalam kejenakaan itu, namun hanya mampu menyaksikan dramadrama panggung yang penuh dengan masalah. ntah dan kapan aku bisa seperti pelakupelaku itu.
Faisal Fariz :
masih ragu, padahal pelaku itu ikutimu dan mendramakan masalahmu yang naskahnya tlah diskenariokan panggung kemarin. lalu hanya melabelkan tontonan itu dengan masalah, jadikannya pantomim agar girang dengan ganasnya memakan konsentrasi. bicaralah dengan pati di layar selularmu," sampaikan bahwa kau terbebani".
Indah Prayodya :
aku tak pernah menoleh padanya. aku hanya melihat sebuah gumpalan rekayasa skenario. gak seperti kenyataan yang aku tulis pada malam bersama bulan. seperti aku terpatung di depan pantomim yg msh terus mendramakan hidupku. semoga udara yg kuhirup kan keluar membawa konsentrasi ini pada layar selulerku,.sampai aku mendapatkan sinyal jawaban yang melukiskan senyumku kembali. seperti dulu.
 Faisal Fariz :
tolehan ragu lalu melihat konsep rekayasanya. pantomim berazaskan manfaat dengan dramamu, hingga diammu dikumpulkannya. asa konsentrasi bernaung diperasaan yang membatu bersama deretan tanda senyum, hingga aku bingung bersama tulisan.
 Indah Prayodya :
ntah apa yang membuat rekayasa itu. aku tak sangka dan tak mampu mencoretnya.kemanfaat itu bersembunyi dalam sebuah rangkaian lagu terindah, sehingga aku tak sanggup berperasaan. senyumku akan membentengi kegelisahan perihku. dan hnya tulisan yang kan menguras semua asa pilu ini.
Faisal Fariz :
Masih juga dia bersembunyi dibalik lagu, padahal esok tlah indah seperti indah aslinya. silatar berasal kayu dan layar itu tempatmu bersanding mencoret asa.
Indah Prayodya :  
tak mampu aku bertindak seperti itu, aku telah nyata dalam asa. hanya berharap jiwaku kan dibawa oleh lagu indah itu.
Faisal Fariz :

masih tetap termangu pada halte asa. Lihat, kendaraan hilir mudik menawarimu, hingga itu mengajakmu menyatu. Lalu berkomposer atau hanya mendendangkan tanpa birama pasti?

Perang dengan waktu


.

Merayap, lalu berteriak malu. Bersemayam bersama kehundahan pilu. Masih itu saja, bertengkar dengan waktu masih jadi tabiat. Hingga hujan melerai, kami masih marah. Namun malam datang dengan arif, hingga bermusyawarah dengan bulan; aku pun terlelap.

Medan, Oktober 2010

Rokok, kopi dan tulisan.


.

Memanggangnya, lalu menarik semburan asap. Hingga liur terbahak, karena panas mungkin. Bibirpun tak tega melarang. Menyemburnya, bergaya O atau terlepas. Tak sadar pernapasan terseok curiga dan berubah hitam, bahkan rapuh. Penawarnya pun kuteguk tanpa beban padahal panas seduhannya masih beruap. Lalu mencoret layar putih dan tersebar melahirkan kata, sampai sebesar kalimat.

Medan, Oktober 2010

kau, aku dan keting


.

I
Kau dipersunting keting. Aku sibuk dengan taktik kering. Pusing tujuh keliling.
Sebulan lalu, buka bersama saat senja mengusai.
telat sampai malu, melihat rona merahmu.
Meneguk mineral, lalu mengaliri kamar mandi.

Sejak itu aku mengerti hati, memahat jenismu dibalik materi.

Kau menguncang jantung.
membangun parodi bila terjadi.



II
Kau dipersunting keting. Aku sibuk dengan taktik kering. Pusing tujuh keliling.
sepekan setelah itu, melepasmu dilandasan pacu.
memandang lalu mengumandang dalam hati kata-kata itu.
Masih gagu dengan nasi sagu.
Aku diam lalu berlalu, kau tersenyum saat itu.

Kau menguncang jantung.
Mulai canggung padahal bingung.


III
Kau dipersunting keting. Aku sibuk dengan taktik kering. Pusing tujuh keliling.
Kemarin, menyuratimu.
Melek sampai pagi, menyahuti ayam,
menulis, membaca, untuk balasanmu.
Ketika itu aku sayu melihat rangkulanmu.

Kau menguncang jantung.
Mengulur benang merah kita.


IV
Kau dipersunting keting. Aku sibuk dengan taktik kering. Pusing tujuh keliling. Belakangn ini, risau tlah berkemilau. Hingar bingar dengan senang, rangkulmu terlepas.

Kau mengguncang jantung.
Aku bersiap malu.

masih tentang cinta


.

Lalu hanyut oleh riak angan, terjerembab dibatu perasaan sampai sesak membisu.
Kau pun terbelalak tak mengerti, padahal aku menghujanimu perasaan sejak bangku sekolahan itu. Hampir terungkap lewat rekontruksi.

jerit kepastian


.

Teriaki malam mengusung kelam, pagi tenggelam seram dibarat sana. Terapan teman miring, lurus sampai polos. Aku turun lalu tenggelam seperti bulan. Tempahkan aku kepastian.

masalah mudah


.

Berbaris deret menginjak aturan pramuka, terjatah pukulan hingga ludah kental sampai banjir muka ini. Diarak sembilu, tisu basah membasuh semuanya. Lalu sumringah karena menang.
Bergumam, "itukah masalah".

teringat lalu


.

Demikianlah, tlah kututurkan semua gundah dengan aksara yg tak kunjung mereda karena nyalanya terang hingga malam tetap terang. Lalu kau diam menarik selentingan bahasa terus mengkaitkaitkannya dengan kejadiakejadian kemarin selanjutnya kau rangkai amarah tapi tetap lahir iba.
Kuduga, aku binasa.

lalu, aku cinta


.

Ini lirih tentang rasa, terbang menyentuh ufuk malam. Bernadi sembah lalu mistikus khayal. Belakangan ku kenal kata semedi. Bermandi rupa wangi, lalu aku tergolek membaca mantra untuk dirimu dikasur tanah yg tak rapi. Baru ku jabat asa, berupa kembang nyata lalu tiada saat meraba. Lantas kucium nyata, hingga dahi berkerut aku masih berkarib.
Aku bergelayut mengeja langit, bintang mendikte bait.
Sesaat aku pamit.

penunggu


.

Aku bonekaboneka malam, sendiri dibilik ini. Menjaga waktu pulas, hingga tetap pulas. Kusam dimakan zaman, lalu aku menunggu makam. Ingatan tak bernaung dalam alam, alam nyata para penunggu masa.

tragedi pagi


.

Mengangkangi tapal, tersungkur. Menerjal trotoar, terpleset hingga merah merekah lalu tumpah, dibalut tanah.
Hingga misteri alpa, tragedi menjadi.

terjaga


.


Genit kurasa sinar, menggelitiki mata dari celah. Mentel sang embun, mencubit dingin mengejar selimut. Riang kudengar ayam berkejar biji melawan burung.
Lalu, aku apa?

tujuanku


.

Menghardikmu kekota itu, mengayuh kenangan lampau. Menyuarakan lagu tanpa syair, dihujani sore tanpa ampun.
Menghardikmu ke kota itu, menyunting pinus untk hangat ketika dingin menikammu diakhir.
Menghardikmu kekota itu, tujuanku.

kopi tunggal


.

Mengaduk butiran putih, sampai pekatnya keling. Beralas beling, aku pangling kelamnya.
Ini cocok diadon celotehan politik, dialog prolog, hingga cerita mati.

Tegukannya tunggal.
Hanya ada monolog bintang, parade nyamuk, tetesan bening adonannya.

simpanan rasa


.

Tak sempat ku rengkuh detik, menit menggendong pundak. Tertawan hitungan jam, waktu aku kecil sampai kemarin masih kusimpan dilaci hati.
Tak sempat ku jitak hari, pekan menyandera kata. Terasing dalam bulan, waktu aku dewasa kuncinya tumpat disumpal cepat.

Berhenti jelajah


.

Menarik perahu dengan taring, minum asinan laut berloki-loki terus gembung.
Aku karang namun pasir, berubah jadi pelabuhan ratu.
Menarik perahu dengan taring, kering Pasang petang datang.
tanpa lilin, namun purnama.
indah panorama terang.

taringku patah, punahkan marwah.
kuhabiskan telusur.

belajar


.

lalu aku cari guru untuk mengajarkanku tentang ironi, berseloro keajaiban mematri bintang agar kelipnya binasa dan mampu mampu menghabiskan rodi disistem pendidik.

marah kekasih


.

kekasihku menari sepi sejak tadi, mengibaskan cambuk hitamnya. sampai hening, ia masih juga menari. Lalu aku sendiri lari sembari mengejar biri.

peserta malam


.

Ingin kutelusuri malam dengan langkah gontai, rehat disudut kota, mendadar aspal dengan tepung masalah dan menyingkirkan malu karena tak beralas.

mendengkur disamping kasur, lalu memetakannya menjadi atlas biar bisa kau tunjuk aku saat nyenyak mendongeng.

jemuran kain dan padi


.

tlah jingga peraduan senja deretan-deretan kawat besi penopang tumpukan benang mengeluh kaku karena terpaan angin tak terhitung baromoter, lalu memdobrak pohon tua di depan taman kota sampai menggusur rangrang yang mengerang karena telur etasnya kurang. sebaliknya, dibilik aur sana paman petani berpeluh karena emprit jalang

sibuk mematuk padi yang masih menengang karena mudanya, padahal kopi dan
mendoan panas tlah tersaji sejak matahari dipuncak.

ketinggalan


.

aku dikunjungi masalah kasmaran yang mengendarai keledai dari seberang nusa sana, pencetak nuansa anggun. ingin berdiri dengan sandaran air dan basah, lalu terbangun karena mungkin ini impian saja, atau guratan ketakutan hilangnya pesona kerudungmu dan aku menonton ketoprak yang pemerannya aku sendiri tanpa hiruk pikuk dialog. tersenyum gundah menjejali dini hari sampai sore ini, lalu aku mengasumsikannya sebagai keterpurukan lisan yang tak sempat terucap karena terlalu merancang taktik untuk merenggut kesendirianmu lalu tertinggal di garis awal saat dia sudah naik di podium status hubungan dan kau mengalunginya lebih dari karib sampai menyentuh kabel intim. bagaimana aku?

hanya bisa menyelam di kali ragu, berhilir sampai kemuara putus asa, selanjutnya mentahlukkan putus asa agar aku seperti gletser. sampai temaram pun kan ku jejaki sabana, memanjat pohon sejenis, lalu berlari berlari karena dikejar terkaman maut melata sampai aku mampu mendaki bukit penantian, dengan tenang duduk bersila layaknya para petapa genit sembari berkhayal

kau hadir mendongakkan kepalaku lalu menegangkan persendian matamu dan
memompa keras deguban jantung.

"aku masih menunggu"

Cemburu


.

dan sekarang hadir ribuan kesal yang tlah diteropong rasa sejak dulu, sejak kita duduk bersama dikursi kayu sambil mengeja perkalian yang saat itu juga mengucurkan keringat dingin karena takut berpasal karena alpa. namun, kau menghilang sampai aku menginjak lift mewah diperantauan ini. 
lalu, kemarin kita bersua menelesik lampauan zaman dan berdendang senyum saat aku melepasmu di bantalan terbang itu. dan petang ini, aku sibuk mengeja tulisan-tulisan dihalaman ceritamu dengannya ; saat ini juga ku menderita.

senda gurau mendung


.

aku hening melihat langit berkomposer gemuruh, membahana hingga kelakar ringan mengicau dibalik dinding beton yang menjulang enam lantai itu. aroma-aroma garing nyaris tak terdetak oleh mesin penggiling riuh.

Nyaris sesat


.

lalu, aku duduk setelah seharian berdiri tersengat matahari hingga merinding bulu kuduk karena terus-terusan berteriak memanggil namamu, padahal dia tlah tiada. namun, aku terus menggali dunia agar dia menyapaku dan menggiringku mengikutinya yang tak kusangka ternyata masuk kategori anomali. tapi, aku terus berikhtiar sampai aku didudukkan disurau untuk tafaqur.

Nasib kasur


.

kini, aku akan menghempasmu dengan telentang tanpa perduli nasib sandaran kepala itu tertindih belantara hitam yang dinaungi parak ubun sampai kau mengkerut karena ku enggan menghiburmu dengan sinar surya seperti batang selalu berfhotosintetis saat terik benderang.

Coretan dari "Hujan malam"


.

belakangan ini, malam mulai menggerutu pada mimpi dan mengganggu langit sampai menangis sedu sedan. apakah ini gelagat akhir? atau rupanya saja yang tak menarik, hingga malam jadi begini?


Juliana Hasibuan :
Malam ini, ku jabarkan senangnya langit dengan segala resapan-resapan doa ; ia menjadi benderang.
malam gelap dan mimpi sendu tak lagi terisak
berhenti jahil, senyum bintang menjadi awalnya.

Faisal Fariz :
namun prasangka tak juga membaik.
lihatlah, gelagatnya dengan muram itu.

Juliana Hasibuan :
Aku lihat, aku rasakan juga ia bermuram lagi.
cengkraman langit hitam muncul lagi selaras dengan jatuhnya sang mega hujan.
Aku lihat, aku rasakan juga prasangka buruk itu,
dingin sekali menyusup sukma
aku gentar ; selimuti aku.

Faisal Fariz :
kelihaiannya meracik muram menjadi emosi kelam tak dijagokan sang pagi.
namun aku kesal, tak menghadiahimu selimut kepercayaan diri agar gentar tak mengikutimu saat dingin kau bergandeng tangan dengan dingin.

Juliana Hasibuan :
Lihatlah, garis muram menghilang ditelan fajar, tak perlu bersesal diri atas kealpaan, karena jiwa tak langgeng bercinta dengan hitam.
rasakan rasukan semangat mentari dan kita akan berdiri.

Faisal Fariz :
aku tlah lalai mencoret garis muram itu, aku juga diceraikan hitam.saat ini, hanya ada putih yang mendiami relung nistaku. dan kelabu menjajah langit lagi siang ini. seakan mereka berperang memperebutkan tahta awan.

Juliana Hasibuan :
Kelalaian bukan nista, yang ku persalahkan ia ada karena kata insan. Jangan hakimi dirimu sekeras batu, aku berdosa karenanya.
Dengar kicauan matahari siang ini, bersemangat menggugah peraduan awan mencuri kekuasaan mendung.

Faisal Fariz :
aku hanya menyalahkan waktu karena mengundang nista saja di hajatan ini. lalu, pahala akan hadir menghapus dosa yang tak sengaja kau tebarkan dalam gurauan.

Juliana Hasibuan :
Aku begitu roboh bercerita tentang dosa, tolonglah sadarkan khilaf ini agar aku bahagia bersanding dengan bulan dimalam temaram kita.

Faisal Fariz :

Maka undanglah suka dengan rona kegurauan seperti sedia kala, seperti para pelawak berkelakar di layar datar.

Juliana Hasibuan :

Jikalah hati penuh dengan lara, ajari aku menggiring suka. lama kunantikan hiasan tawa, tak jua ada sepertimu.

Faisal Fariz :
sesederhana mungkin aku berteriak riang dengan guyonan ringan, ketika itu jua aku meracik suka hingga terbiasa menegurmu agar kau mengasah bahasa kelakar lalu sumringah dan menapak hari jadi lincah ; walau granit menerjalmu.

Juliana Hasibuan :
Harapku, kau juga mengajari ekor bahagia tak terlalu cepat menari menjauhiku. Jangan kelabui aku dengan fatamorgana, pahamkan ia untuk merajut kisah abadi, agar kau lihat kelakarku lebih keras darimu.

Faisal Fariz :
Aku ingin menguraikan tarian dengan gemulai untukmu, lalu aku berfantasi dengan uraian kata-kata dan bernafas dengan lihainya memparadekan kalimat agar hatimu berdansa sendu ; tapi riang.
Inginku terbahak-bahak sampai sadar ada genderang dengan tabuhan terpingkal-pingkal.

jadi apa?


.

aku terus-terusan mengais asa di tumpukan sampah egois, ketika dilema hadir saat hajatan riang. polesan-polesan minyak hasil luapan emosi tak dapat membakar perasaan agar hangus jadi debu, lalu terbang bersama angin. aku tak mendengar rintik hujan ketika fajar malu-malu membuka lenteranya, embun juga. apakah pagi jadi buta karena naluri insan?

Gurau


.

kita pun tertawa terbahak-bahak sesaat yang lalu. saat dia berkelakar dengan ragam gurauan lalu membangun emosi dengan parodi-parodi hingga bernyanyi dengan karaoke gagang sapu. padahal pengeras suara sudah dipinjam dari langgar kita.

hujan malam


.

belakangan ini, malam mulai menggerutu pada mimpi dan mengganggu langit sampai menangis sedu sedan. apakah ini gelagat akhir? atau rupanya saja yang tak menarik, hingga malam jadi begini?

Memulai


.

langkahkan ketika itu juga. ketika para pemuda tlah lumpuh untuk urusan kebenaran, ketika mereka lupa akan kehidupan, ketika mereka lalai dalam tugas alam, ketika mereka lengah dengan ingatan sang pencipta, ketika mereka tertidur saat matahari tersenyum.
dan ketika kita mulai berprasangka putih pada malam.

Menagih janji


.

para kolektor menagih hutang penegak disiplin di seberang sana, dengan loyalitas dan dedikasi tinggi untuk melahirkan amalan yang hakiki.

Bank perasaan


.

sebenarnya, aku ingin menggandakan rasa lalu mengkreditkannya seperti lintah darat dengan suku bunga yang tinggi. esoknya, menagih cicilannya per bulan. lalu, mulai mengembangkannya menjadi koperasi dan berjuang membuatnya seperti bank untuk menampung seluruh perasaan dengan sistem simpan pinjam. dan berpikir untuk mendepositokannya ke bank lain agar aku dilabelin ;pemain hati.