Archive for 01/07/10 - 01/08/10

merpati ombak


.

Dini hari ini,

aku menggiring perasaan
dengan laju sepeda kumbang yang dikayuh kakek ku
puluhan tahun lalu.
Berbekal nurani cinta,
aku mulai menatap gundukan kecil jalan itu,
merasakan denyut nadimu dari imajinasi
yang kukirim lewat merpati facebook.
Tapi, lengah tak berkesudahan menghampiri itu.
Hingga pagi ini aku menunggu merpati itu kembali kesarang perasaan
yang aku dirikan pertengahan maret dua ribu sembilan silam.
Sampai fajar menyingsing di ufuk timur,
rasa kantukku tak kunjung hadir
setelah dihantam ombak cinta yang menenggelamkan hasratku
untuk mencari pantai pengganti berlabuh perahu hati ini.

Meniti hati


.

Rasa dihati ini kian berkembang biak manakala aku tetap bungkam, tetap diam tak bersuara.
Hanyut ke muara pantai timur, menggenang di samudera sana. 
Ntah sudah berapa ribu langkah kutempuh bulan ini tuk menghardikmu kekota itu.
Hingga aku tersesat, jejakmu terhapus oleh rintik awan. 
Hanya lelah yang kutemui sepanjang siang. Tapi, malam mewasiatkan namamu untuk kukenang.
Nadiku berdetak riang mengingat lembut wajahmu, jilbab hitam serta jaket tutup kepalamu.
Walau aku tak mampu bersanding denganmu, aku masih punya rasa itu.

Hitam dengan hujan


.

Tak khayal, semua kejenuhan berderet dengan duka nestapa.

Hingar bingar riang tak terjiplak ke suasanaku,
lewat cerita kita disini.
Tabuhan genderang hati berderu sayu
menatap haru yg memanjat batang waru itu seusai mengintaimu.
Hitam pekat awan itu berteman denganku,
ia selalu mengelus rambutku,
yang saat itu berwarna sama dan saat kami bergandengan menghujani seluruhnya.

Pergolakan hati


.

Teriakan itu memekik telingaku.

Teriakan "jangan pergi penjaga hati",
menyontakkan tidurku dipagi ini.
Padahal malam tadi,
aku selalu terjaga saat ayam tidur mendengkur.

Aku ingin esok, lusa dan seterusnya seperti sedia kala.
Seperti riang kecil yang bermain ditepi beranda saat pagi,
menggelitik hari dengan rangkaian perjalanan sepi.
Bukan seperti kemarin.
Mencari sepi dipanggung komedi hati,
jalanan pun enggan tertegun.
Padahal setiap pasang mata terbelalak menyaksikan pergulatan bathin ini.

Dengan rasa


.

Aku datang bukan karena kekosongan.
Tapi, dengan genggaman asa dan sekelumit rasa,

hendak memperbaiki hati yang dulu saling tersakiti.

Dikte ilalang


.

Telah reda gejolak hati

yang kian remuk tertindih emosi,
karena ucapan kasar tak selembut bahasa kalbu.
Padahal rumput ilalang tlah mendikteku
bagaimana menikmati angin siang saat panas menyerangnya,
mereka bergoyang mengikuti hembusannya.
Tetap saja aku mendengkur
saat tidur tak menjadi aktivitasku.

Pertempuran senja


.

Kegelisahan menerkam senjaku.

Padahal, kemarin sampai pagi tadi kau tlah puas menunggangi perasaanku,
sampai ku tersungkur dalam duka sesaat.
Malamku pun tak luput dari serangan roketmu.

Kapan putaran rodamu beranjak pergi dari ruang dibalik dinding igaku?

...

Titik puncak jenuhku mulai hadir
dengan bala tentaranya
mengusir kegelisahan yang kau jajah belakangan hari ini.

Kehadiran pagi


.

Embun bersolek merdu,

saat subuh mulai menyisir peraduan sang surya
yang hendak bercokol ditahtanya
setelah letih mengitari bumi bagian tetangga.
Kumandang adzan membahana merdu,
memanggil insan-insan untuk mensyukuri nikmat-Nya.
Deru mesin kendaraan bersahutan dari depan pagar sana.
Ayam pun tak mau dikata pecundang.
Sejak jarum jam singgah di angka tiga, mereka berkokok riang.

Cemas


.

Berkutat dengan putaran detik,

menanti jawaban perasaanmu dengan asa cemas.
Dentuman asa bercampur rasa
kini berkomposer ria dalam hati,
nyaris runtuh panggung penantian ini.
Namun, cahaya ronamu tak pudar
dengan libasan jarum waktu dibenakku.

Kepastianmu tak menyetujui
bergandeng dengan tulusmu
mendampingi hariku dengan selular kita.

Tlah banyak korban perasaan,
hingga aku mengklipingnya dengan instrumen untuk bukti nanti.
Pekan depan, hendak ku audit seluruh perasaanmu tentangku
agar kau tak kuvonis "korupsi hati".

Surat asa


.

Kini, lunglai dan dilema memblokir jalanku.
Perasaan selalu berboncengan dengan duka nestapa
yang menjamur lewat kendaraan tuanya
menyapa seluruh prasangka buruk,
sampai menubruk tembok kesabaranku.
Kata yang kurancang belum tersirat seluruhnya.
Selebihnya, masih tersurat dirubrik situs jejaring sosial.
Niat tulusku menyuntingmu sebagai penghuni relung hatiku
masih menginjak-injak bumi,
padahal hati tlah berorasi hingga remuk
pagar asa menahan gejolak ini.

Hati dan air


.

Tlah lebih dari "empat ratus dua puluh lima hari"
aku merekam jejak kesendirian
lewat trotoar-trotoar hitam putih ditepi jalan.
Dan Saat, Menit ke "tiga puluh dua" di "dua belas april dua ribu sepuluh"
aku berhenti,
menyusun aksara dan menghardikmu
untuk ikut memahat nama dibatu hati
yang pernah membeku dan kita berikrar
"ikut aliran air".