Archive for 01/10/11 - 01/11/11

Katakan padaku


.

Katakan padaku yang merindu, "disini aku bersemayam dengan rasa-rasa yang tak biasa, dengan kegalauan yang penuh dilema, menunggu kata-kata yang hendak kau lisankan".
Medan, Oktober 2011

Tetap cerita


.

Dan kau tetap menjadi cerita dalam bait-bait kalimat itu. Mungkin sampai jemari tak mampu menari.
Medan, Oktober 2011

Pergi dengan senyuman


.

Ada beribu suka, ada sejuta kenangan dan hanya satu kesedihan menutup semuanya. Aku akan pergi dengan seutas senyum.
Medan, September 2011

Tetap Karib


.

Kita hanya sekedar karib, jalinan empuk dengan tatapan renyah. Dan kini aku tak menderma asa-asa untuk mimpi yang ku ancang sejak lalu. Sejak aku tersenyum awal untukmu.
Medan, September 2011

Itulah; Aku


.

Ada lekukan dalam hubungan kita, aku menimbunnya dengan segala kegalauan. Dan saat ini; dilema. Dan tetap akan menjadi sedimikian rupa senyawa yang dihembuskan-Nya padaku. Sebab itulah aku.
Medan, September 2011

Aku akan ;


.

Dan bersedu sedanlah kasih, disana ada beribu ribu prahara yang memuncak seiring umur memanjat. Dan menjeritlah, karena disana ada berjuta-juta kesal mengantri untuk terlepas dari ikatan. Aku akan menghardikmu dengan kata-kata untuk buatmu tersenyum lirih dan dengan tekat menatap esok.
Medan, September 2011

Aku tak lagi disana


.

Dari balik telaga itu, aku mengembangkan sayap-sayap agar bisa mengajakmu terbang dengan segala peluh-peluh dan menaburkan semua duka-duka biar tak khayal jadi jenaka. Namun, segala imajiner tentangmu redup ditelan masa. Aku tlah tiada di balik telaga itu.
Medan, September 2011

Halilintar asa


.

Dan rintik-rintik membasahi tanah-tanah yang ber-asa, Waduk-waduk penuh, kodok-kodok riang. Namun insan tak pernah riuh karena rasa binasa oleh gelegar halilintar dan itu berkecamuk dikalbu.
Medan, September 2011

Terlalu meng-Analisa


.

Seharusnya, tak ku untai kata-kata manis sebagai penawar dari sepi-sepimu dan aku jadi begini, menahan berkeping-keping perih dari runtuhnya gletser hati. Itupun aku tak kecewa, karena aku mengutuk diri atas semua analisa miring tentang pertalian esok-esok jika terikat.
Medan, September 2011

Rekaman katamu


.

Lantunan kata-kata indah itu kurekam dalam kaset baru dalam pikiran. Kapanpun asa bergejolak, kan kuputar; biar tenang.
Medan, September 2011

Bumerang rasa


.

Sejak dulu sampai sekarang, aku masih mengais rindu dari puing-puing pertemanan. Rindu dan rasa itu bak bumerang, dan aku tak ingin terbunuh.
Medan, September 2011

Rasa dan asa


.

Dan aku kian mudah bercahaya dengan keraguan ketika kau meredup. Dan aku juga menjamur dengan kabut yang tanpa embun. Rasa dan asa akan kekal.
Medan, September 2011

Kau masih saja tertawa


.

Setelah kau ajak aku menikam matahari, apalagi yg kan kau buat besok denganku? Menggelitiki bulan supaya tak benderang? Atau kita menghajar bintang biar tak gemintang? Malamku remuk, jantungku ancang-ancang berhenti dan kau masih saja tertawa. Aku ragu untuk jemu, karena ada barisan riang. Aku malu melarang tawamu, karena aku benar-benar peragu. Kata-kata diamku tak kau dengar, renyah tawamu masih saja berdendang. Dan akupun meleburkan gelengan dngan sandi wajah; kau terbahak.
 Medan, September 2011
 

Masih untuk malam


.

Semua yang akan kukatakan masih teruntuk malam (kekasih setiaku). Adakah sangkaannya tentang melempemnya semangat-semangat ketika rintik-rintik gaduh? Dan aku masih menyanjungnya dengan kata-kata, belum dengan pengorbanan apapun, namun itu tulus.
Medan, September 2011

Tak menjaja hati


.

Semua hal yang tak ingin ku rasa acap kali hingar bingar, mulai dara-dara bermandikan peluh-peluh kumbang sampai kaum hawa penyejuk itu. Aku masih sungkan menjelma lelaki penjaja hati.
Medan, September 2011

Merangkai kata


.

Malam mengusir penghuninya, tapi tak tega menghajarku karena bengal. Dan aku masih sibuk dengan kerangka kata untuknya esok.
Medan, September 2011

Menerjemahkan bisu


.

Aku hanya berani menerjemahkan rasa-asa dengan semua bentuk utuh kebisuan, itu saja. Kekecawaan hanya ada ketika aku berlisan dan seluruh kebahagiaan ada ketika membisu.

Medan, September 2011

Pacaran dengan malam


.

Aku tak lagi bersua dengan fajar, sebab malm lebih memabukkanku dengan tarian-tarian embunnya, dengan dentuman-dentuman sepinya dan semua yg dicemburukan orang tentang malam kelam tak berasa sedikitpun; aku pacaran dengan malam-malamku.
Medan, September 2011

Menurutku


.

Sejak lepas landas, kita tak bersapa. Tapi, selalu bergurau dalam tidur-tidur dipenghujung malam kita. Jauh, tapi dekat dengan segala kemungkinan asa ataupun rasa; kita tercipta untuk satu (menurutku).
Medan, September 2011

Menyelami hari untuk keindahan


.

Seperti itu, akan ku selami hari-hari demi recehan agar menjemputmu dalam sepi di seberang nusa sana kasih. Dan semua tentang ke-Indah-an kuserahkan pada waktu, dan aku mengeten dari celah hati.
Medan, September 2011

Waktu itu hujan


.

Itu hari yang tak biasa, kau dan aku sampai dipenghujung hari. Senyummu tak pudar walau rintik mengguyur kita dan tabuhan gendang menyumbat telinga, dan aku berbicara dengan hati (ntah dirimu) yang sibuk menghitung rintik-rintik (seperti bosan menunggu ungkapan). Aku masih ingin melihatmu tersenyum, dan misteri karib tak melesakkan kita ke jurang pertikaian hati.

Medan, September 2011

Menunggu keindahan


.

Dan tak kulihat lagi jingga-jingga saat ufuk di barat sana, burung-burungpun sibuk bertelur sedangkan rintik-rintik basah menelanjangi daun-daun yang tlah lama di rias debu. Saat itu juga aku masih menunggu; ke-indah-an.

Medan, September 2011

Menanti sampai basah


.

Sampai sekarang, aku masih basah dengan ragu-ragu karena kejebur dalam waduk penantian. Lidahku tak ubah baja, keras dan kaku. Musimpun enggan berubah, hingga penghujung tak dipakai lagi.

Medan, September 2011

Hanya bayangan


.

Kita hanya bayangan, sesak sepi menderma ruang untuk keabadian penantian. Sekelebat tanda-tanda terpenjara dengan ilusi dan mimpi hanya milik mereka.

Medan, September 2011

*Sumut pos 30 Oktober 2011
 
 
 

Berani berlisan; nanti


.

Sesaat setelah melepasmu diladasan pacu itu, aku kembali menabung puing-puing keberanian untuk berlisan sebelum kau kembali ke desa kita (menghampiri kenangan-kenangan), dan aku akan bicara tentang asa, tentang rasa.

Medan, September 2011

Hadir di luangmu


.

Lihatlah, matahari bercokol pada malam-malamku, sesaat lagi kita tiada dan aku masih tak sanggup berlisan tentang itu (tentang asaku yang sejak di kursi kayu itu kurasakan), aku masih hadir diantara waktu-waktu luangmu sampai rintik-rintik basahi tidurku; kau masih hatiku.
Medan, September 2011

Kata angin


.

Lembaran ragu menitipkan pesan untuk berhenti bermain dengan asa, hardikan masa lalu untuk menjadi ajaran sering kali memukul mimpi-mimpi, "tunggulah sesukamu", kata angin.
 Medan, September 2011

Karena gambar


.

jejeran gambar-gambar itu menyempitkan degupan jantungku, sejak dulu sampai sekarang aku akan berkata "rindu itu adalah sebuah keindahan".

Medan, September 2011

Hal indah


.

Dan segala hal tentang ke-(Indah)-an hanya bersemayam tertata pada rona wajahnya saat tersenyum, manis dan sedikit membentur hati sampai jantung berdegup riang sebelum memujanya. Engkau cahaya dalam kepura-puraan memandang sisi pertemanan. Semoga kau merasakan bahasa kalbu dalam bisu.
Medan, September 2011

Aku dan mendung


.

Awan-awan hitam itu meneduhkan, semilir anginnya mendamaikan. Setidaknya hujannya tak membiarkan retak tanah bersemayam. Seperti itulah; asa-ku.

Medan, September 2011

Kalah


.

Dan aku meringis karena sabetan kerikil-kerikil kata dari mereka para pejuang konvensional, lukanya menusuk. Hingga itu aku enggan bercerita lagi.
Medan, September 2011

*Sumut pos 30 Oktober 2011
  

Binasa karena Tak biasa


.

Akhirnya, semua binasa karena tak biasa meng-asa, sampai rasa tenggelam dalam miniatur-miniatur kehidupan.
Medan, September 2011