Akhirnya berubah menjadi malapetaka pada siang, pada tandus sepi di taman bara, Kau menjelma ufuk-ufuk jingga dibarat sana, mengharap orang mengabadikan serongmu.
Mendinginkan angin, menenggelamkan terang, menceraikan geliat-geliat raga agar tenang menikmati perantauanmu. Sebaliknya malam, Kau menyelimuti surya biar tak bias, biar kau dipuja insan (menyuap dengan rupa-rupa taman langit). Padahal awak bumi menunggu pagi. Kami ingin merangkum terang dan menikmati malam.
Lalu, apa itu hari?
Medan, 20 April 2011
This entry was posted on Selasa, 10 Mei 2011 . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response.